NASAKH
MANSUKH
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu
Dr. Anwar Mujahidin, M. A.
Nip. 197410032003121001
Disusun
Oleh
Wahyu
Choirul Huda
NIM.
210911062
PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan
oleh Allah kepada Nabi Muhamad SAW dalam berbagai proses dan berbagai sebab.
Pengetahuan akan ulumul Al-Qur’an tersebut penting bagi kita. Salah satu proses
yang terkait di dalamnya adalah mengenai Nasakh dan Mansukh. Nasakh pada
hakikatnya adalah ayat yang menghapus atau yang menggantikan ayat Mansukh.
Sedangkan Mansukh merupakan ayat yang tergantikan atau terhapus. Menasakh suatu
ayat dilakukan untuk menggantikan hukum yang lama, yang mungkin sudah tidak
sesuai dengan keadaan umat ketika ayat mansukh tersebut diturunkan dengan
keadaan umat pada saat itu.
Dalam hal me-Nasakh
suatu ayat, tidak dapat sembarang menasakh suatu ayat tersebut. Tidak semua
ayat dalam Al-Qur’an boleh di-Nasakh. Dalam proses me-Nasakh suatu ayat, para
Rasul dan sahabat berpedoman pada suatu ketentuan. Akan tetapi terkadang juga
perintah untuk menggantikan ataupun ayat yang menggantikan ayat mansukh tersebut turun langsung dari Allah SWT. Yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah ketentuan - ketentuan tentang menasakh suatu ayat, cara
yang digunakan untuk me-Nasakh suatu ayat, serta juga dibahas masalah hikmah
yang bisa kita ambil tentang Nasakh dan Mansukh. Semoga makalah ini dapat
berguna untuk menambah wawasan pembaca.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasakh Mansukh
Secara etimologis (al-lughah) naskh
memiliki beberapa pengertian. Yang pertama berarti meniadakan (al-izalah)
seperti dalam firman Allah “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat – ayatNya (QS.al-Hajj/22:55). Naskh juga
berarti penggantian (al-tabdil). Seperti firman Allah “Dan apabila Kami
letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya...” (QS.
Al-Nahl/16:101). Selain itu naskh dapat pula diartikan mengubah (al – tahwil)
seperti dalam hal warisan : “Tanasukh al – mawarists”, yaitu pengalihan (al –
taahwil) warisan dari satu orang ke orang lain. Demikian juga naskh juga
diartikan pemindahan atau pengutipan (al-naql), yaitu pemindahan dari satu
tempat ke tempat lain. Seperti ungkapan “nasakhtu al-kitab” yang berarti aku
telah mengutip isi kitab itu, yaitu memindahkan atau mengutip satu kitab sama
persis, baik dari segi kata (al-lafadzh) maupun penulisanya(khath).
Sedangkan
pengertian nasikh menurut istilah, ada dua macam yaitu[1] :
a. Nasikh
ialah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/mengubah hukum /dalil
syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang
dibawahnya. Dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah kalau akan menghadap Rosulullah
SAW, nasikhnya ialah ayat 13 surat Al-Mujadilah yang menghapuskan /mengubah
kewajiban dari ayat 12 surat Al-Mujadilah itu diganti dengan bebas dari
kewajiban bersedekah tersebut.
b. Nasikh
itu ialah allah SWT. Artinya bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan
hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah allah SWT tidak ada yang lain.
Sebab dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT tidak dari yang lain dan juga
tidak diubah atau diganti oleh yang lain. Dan sesuai pula dengan penegasan Allah
SWT dalam firman-Nya :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya :
“Apa
saja ayat yang Kami nasakhkan atau yang Kami jadikan (manusia) melupakannya,
tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya” (QS. Al-Baqarah :106)
Sedangkan untuk pengertian mansukh, Mansukh
menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus atau dihilangkan/dipindah ataupun
disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ mansukh ialah hukum
syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan yang baru yang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu ialah berupa
ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru,
karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan
penggantian hukum tadi.[2]
B.
Syarat
– Syarat Naskh
Dari uraian pengertian
nasakh di atas disimpukan bahwa naskh diperlukan syarat – syarat berikut[3];
1. Hukum
yang mansukh adalah hukum yang syara’.
2. Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya dimansukh.
3. Khitab
yang diharapkan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
C.
Jenis
– jenis Nasakh Mansukh dan Macam Nasakh
1. Jenis
– Jenis Naskh
Nasakh ada empat
bagian;
a. Nasakh
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehanya dan telah terjadi
dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya ayat tentang
‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b. Nasakh
Al Qur’an dengan As-Sunah
1).
Nasakh Al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh
dinaskh oleh hadits ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan
keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah
pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang mazhnun
(diduga).
2).
Nasakh Al-Quran dengan hadits Mutawatir. Nasakh semacam ini dibolehkan oleh
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing – masing adalah
wahyu.
c. Nasakh
As-Sunah dengan Al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah
masalah menghadap baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As Sunah dan di dlam
Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan
oleh Al-Quran dengan dalilnya;
“Maka berpalinglah
mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah:144).
d. Nasakh
sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk; pertama nasakh
mutawatir dengan mutawatir. Kedua nasakh ahad dengan ahad. Ketiga nasakh ahad
dengan mutawatir. Dan terakhir nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk
pertamana dibolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh
jumhur.
2. Macam-macam
nasikh dalam Qur’an
Macam-macam nasikh yang
terjadi dalam al-Qur’an itu ada tiga yaitu :
a. Menasikh
bacaan ayat dan hukumnya sekaligus.
Yaitu
menghapuskan bacaan ayat dan hukum isinya sekali, sehingga bacaan ayatnya sudah
tidak ada dan bahkan tulisan lafal ayatnyapun telah dihapus dan diganti dengan
ketentuan lain. Contohnya seperti penghapusan ayat yang mengharamkan kawin
dengan saudara sepersusuan karena bersama-sama menetek kepada seorang ibu
dengan sepuluh kali susuan yang dinasakh dan diganti dengan lima kali susuan.
b. Menasikh
hukumnya tanpa menasikh bacaannya.
Yaitu
tulisan dan bacaan ayatnya masih boleh dibaca, tetapi isi hukum ajarannya sudah
dinasakh, sudah dihapuskan dan diganti dengan yang lain, sehingga sudah tidak
boleh diamalkan lagi. Contohnya seperti ayat Al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
Artinya :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kalian dan meninggalkan
beberapa istri, hendaklah berwasiiat untuk istri-istrinya itu, (yaitu) memberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan
tidak disuruh pindah”. (QS. Al-Baqarah: 240)[4]
Dr.
Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits
Fi ‘Ulumil Qur’an menganggap aneh ada nasakh macam kedua ini. Beliau
mempertanyakan, apa hikmahnya menghapuskan hukum sedang bacaannya tidak? Lalu
Prof. Manna’ul Qaththan menjawab sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya untuk diamalkan juga dibaca
karena Al-Qur’an itu firman Allah, sehingga yang membaca akan mendapatkan
pahala.
2. Nasakh
itu pada umumnya untuk member keringanan. Karena itu, tidak dinasakhnya bacaan
ayat itu untuk mengingatkan nikmat Allah yang memperingan hukuman itu.
c. Menasakh
bacaan ayat tanpa manasakh hukumnya.
Yakni
tulisan ayatnya sudah dihapus sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi, tetapi
hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan.
Orang
yang tidak suka nasakh menanyakan, apa gunanya menasakh bacaan ayat sedang
hukumnya masih ada? Mengapa bacaannya tetap dibiarkan, agar tetap bisa dibaca
orang yang akan mengamalkan isi hukumnya.
Imam
Ibnu Jauzy dalam kitab Fununul Afnan Fi
‘Ajaibi Ulumul Qur’an menjawab, bahwa yang demikian itu untuk mengecek
sampai dimana kekuatan umat Islam ini dalam berupaya dan berusaha mengamalkan
hukum ajaran Tuhan, meski hanya berdasarkan dugaan tanpa menunggu dalil yang
qath’i. orang yang imannya tebal, seperti nabi Ibrahim akan bersegera
mengamalkan perintah Allah walaupun menyembelih anak kesayangannya, hanya
berdasarkan impian. Padahal impian itu merupakan dasar yang paling lemah.[5]
3. Macam-macam
mansukh[6]
a. Ayat
yang mansukh rasm (tulisan) dan hukumnya.
Telah
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallah’anhu
bahwa dia berkata, “Telah diturunkan sebuah ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam sehingga
saya mencatatnya dalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan
mushafitu hanya berwarna putih (tanpa tetera sebuah tulisan pun diatasnya),
maka saya mengabarkan hal tersebut kepada rasulullah. Ternyata beliau bersabda,
“Tidakkah kamu tahu bahwa ayat terebut
telah diangkat tadi malam?”
Ketika
suatu ayat telah diangkat maka hukumnya juga sudah tidak berlaku lagi, sebagai
contoh adalah surat Al-Ahzaab yang dahulunya lebih panjang daripada surat
Al-Baqarah.
b. Ayat
yang dinasakh rasm-nya namun hukumnya masih tetap ada.
Diantara
aya Al-quran yang hanya dinask rasm-nya
saja, namun keberadaan hukumnya masih diperselisihkan adalah yang terdapat
dalam riwayat Muslim, dari Aisyah radiyallahu’anha bahwa dia telah mendikte
sekertarisnya (untuk menuis ayat yang artinya), “Peliharalah segala shalat
(mu), dan (peliharalah) shalat wustha dan shalat asar. Berdirillah karena Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu’.” Aisyah berkata, “saya telah mendengar ayat
itu dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam.”
c. Ayat
yang dinasakh hukumnya namun rasm-nya masih tetap ada.
Suatu
ayat tidak dihapus namun hukumnya tidak berlaku lagi, dan telah digantikan
dengan ayat yang lain. Contohnya tentang arah kiblat, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah allah” (QS. Al-Baqarah: 115) dengan ayat “Dan dari mana saja kamu keluar maka
palingkanlah wajahmu kearah Majidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya” (QS. Al-Baqarah:150”.
D.
Metode(Manhaj)
Mengetahui Naskh
Berkaitan
dengan pentingnya pengetahuan masalah Naskh,Manna’ al-Qathhan telah menetapkan
tiga metode yang dapat digunakan untuk mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh dan ayat yang lainnya sebagai mansukh.
Pertama,
berdasarkan informasi yang jelas (al-naql al-sharih) yang didapat dari Nabi saw
dan sahabat. Seperti hadis: “Kuntu nahaitukum ‘an ziarah al qubr, ala fazuruha”
(Aku dulu melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah). Demikian
juga ungkapan Annas tentang kisah sumur maunah, berkenaan dengan mereka
turunlah ayat Al-Qur’an yang pernah kami baca sampai akhirnya ia dihapus.
Kedua,
berdasarkan konsensus(ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
Ketiga,
berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat – ayat yang turun terlebih dahulu
(al-mutaqaddam) dan mana yang terkemudian (al-muta’akhir).[7]
Lebih
lanjut Qaththan menegaskan bahwa naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan
ijtihad, atau berdasarkan pendapat para mufassir ataupun berdasarkan
dalil-dalil yang secara zhahir nampak kontradiktif. Demikian juga, naskh tidak
dapat ditetapkan berdasarkan terbelakangnya keislaman seseorang dari dua
perawi.
Pendapat
Manna’ al-Qathhan di atas senada dengan pendapat Ibn al-Hishar sebagaimana
dikutip al Suyuti yang mengatakan sebagai berikut;
“Persoalan
naskh harus didasarkan pada informasi yang jelas dari Rasulullah saw, atau dari
seorang sahabat yang mengatakan bahwa ayat ini dinaskh oleh yang ini. Metode
ini juga dapat digunakan jika terjadi kontradiksi secara pasti, dengan dibantu
ilmu-ilmu sejarah untuk mengetahui mana ayat yang terdahulu dan yang
terkemudian. Lebih lanjut ia mengatakan; “Dalam persoalan naskh tidak boleh
berpegang pada ijtihad para mujtihad tanpa penukilan yang shahih dan jelas dari
Nabi atau sahabat, sebab naskh mengandung makna menghapus suatu hukum dan
menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Naabi saw. Sedangkan landasan
landasannya adalaah naql (teks al-Qur’an dan al-sunnah) dan fakta ssejarah,
bukan pendapat atau hasil ijtihad”.[8]
E.
Pendapat
Ulama’ tentang Nasakh
Dilingkungan
para ulama’ dari beberapa agama, ada tiga pendapat mengenai nasakh ini, yaitu:
a. Masalah
“nasakh” tersebut, secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi.
Dalil-dalil
mereka ialah sebagai berikut :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya :
“Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya.”
(QS. Al-Baqarah: 106)
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
Artinya :
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya” (QS.
An-Nahl : 101)
Nash-nash Al-Qur’an dan
hadish jelas membolehkan adanya nasakh dan menunjukkan telah terjadinya
nasakh-nasakh itu.
Semua perbuatan Allah
SWT itu tidak terikat kepada sesuatu fatwa dengan tujuan-tujuan tertentu.
Karena itu, bisa saja Allah SWT itu memerintahkan sesuatu pada sesuatu waktu
dan menggantikannya dengan melarang sesuatu itu pada waktu yang lain, karena
Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui semua kemaslahatanhamba-Nya.
b. Masalah
“nasakh” itu tidak mungkin terjadi menurut akal ataupun menurut pandangan.
Pendapat ini adalah dari seluruh kaum
Nasrani masa sekarang ini, yang selalu menyerang Islam dengan dalih “nasakh”
ini. Pendapat ini dipilih oleh golongan Sam’uniyah dari kaum Yahudi. Mereka
mengingkari adanya nasakh dengan alasan, nasakh itu kadang-kadang tanpa hikmah
dan kadang-kadang ada hikmahnya, tetapi baru diketahui setelah sebelumnya tidak
diketahui.
Alasan mereka tidak benar. Tidak benar
bahwa nasakh itu tanpa hikmah, hal itu tidak mungkin dikerjakan Allah SWT.
Begitu pula alasan yang kedua bahwa hikmah nasakh itu baru nampak kemudian,
yang berarti tadinya belum diketahui. Hal inipun tidak layak bagi Allah SWT.
Sebab, hikmah nasikh atau hikmah yang dimansukh itu sangat diketahui Allah SWT
yang lebih mengetahui dari manusia.[9]
Sebenarnya, kaum Yahudi mengakui bahwa
syari’at Nabi Musa a.s itu menasakh kepada hukum-hukum syari’at sebelumnya. Dan
memang dalam nash-nash Taurat sendiri terdapat beberapa nasakh. Contohnya,
seperti diharamkannya beberapa macam binatang yang sebelumnya dihalalkan. Hal ini
seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT :
n?tãur úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym ¨@à2 Ï 9àÿàß ( ÆÏBur Ìs)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä© wÎ) $tB ôMn=yJym !$yJèdâqßgàß Írr& !$t#uqysø9$# ÷rr& $tB xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/ 4 y7Ï9ºs Oßg»oY÷zy_ öNÍkÈøót7Î/ ( $¯RÎ)ur tbqè%Ï»|Ás9 ÇÊÍÏÈ
Artinya :
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala bitang yang berkuku,
dan dari sapi dan domba Kami haramkan
atau mereka lemak dari kedua binatang tersebut, selain lemak yang melekat
dipunggung keduanya atau yang diperut besar dan usus atau yang bercampur dengan
tulang.” (QS. Ql-An’am :146)
c. Nasakh
itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara’ dilarang
Pendapat
ini menurut pendirian golongan Inaniyah dari kaum Yahudi dan pendirian Abu
Muslim Al-Asfihani. Mereka mengakui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi
mereka mengatakan nasakh dilarang dalam syara’. Abu Muslim dan orang-orang yang
setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an :
w ÏmÏ?ù't ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷yt wur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@Í\s? ô`ÏiB AOÅ3ym 7ÏHxq ÇÍËÈ
Artinya :
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakang” (QS. Fushshilat: 42)
Mereka
menafsirkan ayat ini dengan anggapan, bahwa hukum-hukum Al-Qur’an itu tidak
batal/tidak dihapus selamanya. Padahal maksud ayat tersebut adalah bahwa
hukum-hukum Al-Qur’an itu tidak ada kitab lain sebelumnya yang membatalkan atau
menghapuskannya dan juga akan ada kitab setekah Al-Qur’an yang menghapuskan
hukum-hukumnya[10].
F.
Hikmah
Nasakh
1. Memelihara
kemaslahatan hamba.
2. Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan
dan ujian bagi mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh beralih ke hal yang lebih
berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang
lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[11]
5. Untuk
menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang paling sempurna.
Kerena itu syariat agama Islam ini menasakh semua syariat dari agama-agama
sebelum Islam. Sebab, syariat Islam ini mencakup semua kebutuhan seluruh umat
manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s yang
kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad
SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
6. Untuk
menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan
kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang
sempurna.[12]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. 2002.
Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Basritama.
Al-Qaththan,
Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. 2004. Penerjemah: Aunur Rafiq
El-Mazni. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar.
Djalal, Abdul. 2000. Ulumul
Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Ichwan, Mohammad Nor. 2008. Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: RaSAIL Media Group.
[2]
Ibid.
[3]
Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2004), TTJ, 286.
[5]Ibid.
[7]
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), 120.
[8]
Ibid.
[9]
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Dunia
Ilmu, Surabaya, 2000), 134.
[11]
Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2004), TTJ, 296.
No comments:
Post a Comment