Tuesday, May 15, 2012

Makalah Nasakh Mansukh


NASAKH MANSUKH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu
Dr. Anwar Mujahidin, M. A.
Nip. 197410032003121001



Disusun Oleh
Wahyu Choirul Huda
NIM. 210911062

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012



PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhamad SAW dalam berbagai proses dan berbagai sebab. Pengetahuan akan ulumul Al-Qur’an tersebut penting bagi kita. Salah satu proses yang terkait di dalamnya adalah mengenai Nasakh dan Mansukh. Nasakh pada hakikatnya adalah ayat yang menghapus atau yang menggantikan ayat Mansukh. Sedangkan Mansukh merupakan ayat yang tergantikan atau terhapus. Menasakh suatu ayat dilakukan untuk menggantikan hukum yang lama, yang mungkin sudah tidak sesuai dengan keadaan umat ketika ayat mansukh tersebut diturunkan dengan keadaan umat pada saat itu.
Dalam hal me-Nasakh suatu ayat, tidak dapat sembarang menasakh suatu ayat tersebut. Tidak semua ayat dalam Al-Qur’an boleh di-Nasakh. Dalam proses me-Nasakh suatu ayat, para Rasul dan sahabat berpedoman pada suatu ketentuan. Akan tetapi terkadang juga perintah untuk menggantikan ataupun ayat yang menggantikan ayat mansukh  tersebut turun langsung dari Allah SWT. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah ketentuan -  ketentuan tentang menasakh suatu ayat, cara yang digunakan untuk me-Nasakh suatu ayat, serta juga dibahas masalah hikmah yang bisa kita ambil tentang Nasakh dan Mansukh. Semoga makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan pembaca.


PEMBAHASAN
A.      Pengertian Nasakh Mansukh
Secara etimologis (al-lughah) naskh memiliki beberapa pengertian. Yang pertama berarti meniadakan (al-izalah) seperti dalam firman Allah “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat – ayatNya (QS.al-Hajj/22:55). Naskh juga berarti penggantian (al-tabdil). Seperti firman Allah “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya...” (QS. Al-Nahl/16:101). Selain itu naskh dapat pula diartikan mengubah (al – tahwil) seperti dalam hal warisan : “Tanasukh al – mawarists”, yaitu pengalihan (al – taahwil) warisan dari satu orang ke orang lain. Demikian juga naskh juga diartikan pemindahan atau pengutipan (al-naql), yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain. Seperti ungkapan “nasakhtu al-kitab” yang berarti aku telah mengutip isi kitab itu, yaitu memindahkan atau mengutip satu kitab sama persis, baik dari segi kata (al-lafadzh) maupun penulisanya(khath).
Sedangkan pengertian nasikh menurut istilah, ada dua macam yaitu[1] :
a.       Nasikh ialah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/mengubah hukum /dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya. Dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah kalau akan menghadap Rosulullah SAW, nasikhnya ialah ayat 13 surat Al-Mujadilah yang menghapuskan /mengubah kewajiban dari ayat 12 surat Al-Mujadilah itu diganti dengan bebas dari kewajiban bersedekah tersebut.
b.      Nasikh itu ialah allah SWT. Artinya bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah allah SWT tidak ada yang lain. Sebab dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT tidak dari yang lain dan juga tidak diubah atau diganti oleh yang lain. Dan sesuai pula dengan penegasan Allah SWT dalam firman-Nya :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ  
Artinya :
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau yang Kami jadikan (manusia) melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya”  (QS. Al-Baqarah :106)  
Sedangkan untuk pengertian mansukh, Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus atau dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan yang baru yang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu ialah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.[2]
B.       Syarat – Syarat Naskh
Dari uraian pengertian nasakh di atas disimpukan bahwa naskh diperlukan syarat – syarat berikut[3];
1.      Hukum yang mansukh adalah hukum yang syara’.
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya dimansukh.
3.      Khitab yang diharapkan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

C.      Jenis – jenis Nasakh Mansukh dan Macam Nasakh
1.      Jenis – Jenis Naskh
Nasakh ada empat bagian;
a.       Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehanya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b.      Nasakh Al Qur’an dengan As-Sunah
1). Nasakh Al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
2). Nasakh Al-Quran dengan hadits Mutawatir. Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing – masing adalah wahyu.
c.       Nasakh As-Sunah dengan Al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As Sunah dan di dlam Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh Al-Quran dengan dalilnya;
“Maka berpalinglah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah:144).
d.      Nasakh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk; pertama nasakh mutawatir dengan mutawatir. Kedua nasakh ahad dengan ahad. Ketiga nasakh ahad dengan mutawatir. Dan terakhir nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertamana dibolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
2.      Macam-macam nasikh dalam Qur’an
Macam-macam nasikh yang terjadi dalam al-Qur’an itu ada tiga yaitu :
a.       Menasikh bacaan ayat dan hukumnya sekaligus.
Yaitu menghapuskan bacaan ayat dan hukum isinya sekali, sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada dan bahkan tulisan lafal ayatnyapun telah dihapus dan diganti dengan ketentuan lain. Contohnya seperti penghapusan ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara sepersusuan karena bersama-sama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan yang dinasakh dan diganti dengan lima kali susuan.
b.      Menasikh hukumnya tanpa menasikh bacaannya.
Yaitu tulisan dan bacaan ayatnya masih boleh dibaca, tetapi isi hukum ajarannya sudah dinasakh, sudah dihapuskan dan diganti dengan yang lain, sehingga sudah tidak boleh diamalkan lagi. Contohnya seperti ayat Al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ  
Artinya :
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kalian dan meninggalkan beberapa istri, hendaklah berwasiiat untuk istri-istrinya itu, (yaitu) memberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah”. (QS. Al-Baqarah: 240)[4]
Dr. Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an menganggap aneh ada nasakh macam kedua ini. Beliau mempertanyakan, apa hikmahnya menghapuskan hukum sedang bacaannya tidak? Lalu Prof. Manna’ul Qaththan menjawab sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya untuk diamalkan juga dibaca karena Al-Qur’an itu firman Allah, sehingga yang membaca akan mendapatkan pahala.
2.      Nasakh itu pada umumnya untuk member keringanan. Karena itu, tidak dinasakhnya bacaan ayat itu untuk mengingatkan nikmat Allah yang memperingan hukuman itu.
c.       Menasakh bacaan ayat tanpa manasakh hukumnya.
Yakni tulisan ayatnya sudah dihapus sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi, tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan.
Orang yang tidak suka nasakh menanyakan, apa gunanya menasakh bacaan ayat sedang hukumnya masih ada? Mengapa bacaannya tetap dibiarkan, agar tetap bisa dibaca orang yang akan mengamalkan isi hukumnya.
Imam Ibnu Jauzy dalam kitab Fununul Afnan Fi ‘Ajaibi Ulumul Qur’an menjawab, bahwa yang demikian itu untuk mengecek sampai dimana kekuatan umat Islam ini dalam berupaya dan berusaha mengamalkan hukum ajaran Tuhan, meski hanya berdasarkan dugaan tanpa menunggu dalil yang qath’i. orang yang imannya tebal, seperti nabi Ibrahim akan bersegera mengamalkan perintah Allah walaupun menyembelih anak kesayangannya, hanya berdasarkan impian. Padahal impian itu merupakan dasar yang paling lemah.[5]
3.      Macam-macam mansukh[6]
a.       Ayat yang mansukh rasm (tulisan) dan hukumnya.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallah’anhu bahwa dia berkata, “Telah diturunkan sebuah ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam sehingga saya mencatatnya dalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan mushafitu hanya berwarna putih (tanpa tetera sebuah tulisan pun diatasnya), maka saya mengabarkan hal tersebut kepada rasulullah. Ternyata beliau bersabda, “Tidakkah kamu tahu bahwa ayat terebut telah diangkat tadi malam?”
Ketika suatu ayat telah diangkat maka hukumnya juga sudah tidak berlaku lagi, sebagai contoh adalah surat Al-Ahzaab yang dahulunya lebih panjang daripada surat Al-Baqarah.
b.      Ayat yang dinasakh rasm-nya namun hukumnya masih tetap ada.
Diantara aya Al-quran  yang hanya dinask rasm-nya saja, namun keberadaan hukumnya masih diperselisihkan adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim, dari Aisyah radiyallahu’anha bahwa dia telah mendikte sekertarisnya (untuk menuis ayat yang artinya), “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha dan shalat asar. Berdirillah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” Aisyah berkata, “saya telah mendengar ayat itu dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam.”
c.       Ayat yang dinasakh hukumnya namun rasm-nya masih tetap ada.
Suatu ayat tidak dihapus namun hukumnya tidak berlaku lagi, dan telah digantikan dengan ayat yang lain. Contohnya tentang arah kiblat, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah allah” (QS. Al-Baqarah: 115) dengan ayat “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kearah Majidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya” (QS. Al-Baqarah:150”.


D.      Metode(Manhaj) Mengetahui Naskh
Berkaitan dengan pentingnya pengetahuan masalah Naskh,Manna’ al-Qathhan telah menetapkan tiga metode yang dapat digunakan untuk mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan nasikh dan ayat yang lainnya sebagai mansukh.
Pertama, berdasarkan informasi yang jelas (al-naql al-sharih) yang didapat dari Nabi saw dan sahabat. Seperti hadis: “Kuntu nahaitukum ‘an ziarah al qubr, ala fazuruha” (Aku dulu melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah). Demikian juga ungkapan Annas tentang kisah sumur maunah, berkenaan dengan mereka turunlah ayat Al-Qur’an yang pernah kami baca sampai akhirnya ia dihapus.
Kedua, berdasarkan konsensus(ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
Ketiga, berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat – ayat yang turun terlebih dahulu (al-mutaqaddam) dan mana yang terkemudian (al-muta’akhir).[7]
Lebih lanjut Qaththan menegaskan bahwa naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, atau berdasarkan pendapat para mufassir ataupun berdasarkan dalil-dalil yang secara zhahir nampak kontradiktif. Demikian juga, naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan terbelakangnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Pendapat Manna’ al-Qathhan di atas senada dengan pendapat Ibn al-Hishar sebagaimana dikutip al Suyuti yang mengatakan sebagai berikut;
“Persoalan naskh harus didasarkan pada informasi yang jelas dari Rasulullah saw, atau dari seorang sahabat yang mengatakan bahwa ayat ini dinaskh oleh yang ini. Metode ini juga dapat digunakan jika terjadi kontradiksi secara pasti, dengan dibantu ilmu-ilmu sejarah untuk mengetahui mana ayat yang terdahulu dan yang terkemudian. Lebih lanjut ia mengatakan; “Dalam persoalan naskh tidak boleh berpegang pada ijtihad para mujtihad tanpa penukilan yang shahih dan jelas dari Nabi atau sahabat, sebab naskh mengandung makna menghapus suatu hukum dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Naabi saw. Sedangkan landasan landasannya adalaah naql (teks al-Qur’an dan al-sunnah) dan fakta ssejarah, bukan pendapat atau hasil ijtihad”.[8]
E.     Pendapat Ulama’ tentang Nasakh
Dilingkungan para ulama’ dari beberapa agama, ada tiga pendapat mengenai nasakh ini, yaitu:
a.       Masalah “nasakh” tersebut, secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi.
Dalil-dalil mereka ialah sebagai berikut :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ  
Artinya :
Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya.” (QS. Al-Baqarah: 106)
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ  
Artinya :
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya” (QS. An-Nahl : 101)
Nash-nash Al-Qur’an dan hadish jelas membolehkan adanya nasakh dan menunjukkan telah terjadinya nasakh-nasakh itu.
Semua perbuatan Allah SWT itu tidak terikat kepada sesuatu fatwa dengan tujuan-tujuan tertentu. Karena itu, bisa saja Allah SWT itu memerintahkan sesuatu pada sesuatu waktu dan menggantikannya dengan melarang sesuatu itu pada waktu yang lain, karena Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui semua kemaslahatanhamba-Nya.
b.      Masalah “nasakh” itu tidak mungkin terjadi menurut akal ataupun menurut pandangan.
Pendapat ini adalah dari seluruh kaum Nasrani masa sekarang ini, yang selalu menyerang Islam dengan dalih “nasakh” ini. Pendapat ini dipilih oleh golongan Sam’uniyah dari kaum Yahudi. Mereka mengingkari adanya nasakh dengan alasan, nasakh itu kadang-kadang tanpa hikmah dan kadang-kadang ada hikmahnya, tetapi baru diketahui setelah sebelumnya tidak diketahui.
Alasan mereka tidak benar. Tidak benar bahwa nasakh itu tanpa hikmah, hal itu tidak mungkin dikerjakan Allah SWT. Begitu pula alasan yang kedua bahwa hikmah nasakh itu baru nampak kemudian, yang berarti tadinya belum diketahui. Hal inipun tidak layak bagi Allah SWT. Sebab, hikmah nasikh atau hikmah yang dimansukh itu sangat diketahui Allah SWT yang lebih mengetahui dari manusia.[9]
Sebenarnya, kaum Yahudi mengakui bahwa syari’at Nabi Musa a.s itu menasakh kepada hukum-hukum syari’at sebelumnya. Dan memang dalam nash-nash Taurat sendiri terdapat beberapa nasakh. Contohnya, seperti diharamkannya beberapa macam binatang yang sebelumnya dihalalkan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT :
n?tãur šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym ¨@à2 ÏŒ 9àÿàß ( šÆÏBur ̍s)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä© žwÎ) $tB ôMn=yJym !$yJèdâqßgàß Írr& !$tƒ#uqysø9$# ÷rr& $tB xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/ 4 y7Ï9ºsŒ Oßg»oY÷ƒzy_ öNÍkÈŽøót7Î/ ( $¯RÎ)ur tbqè%Ï»|Ás9 ÇÊÍÏÈ  
Artinya :
Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala bitang yang berkuku, dan dari sapi dan domba  Kami haramkan atau mereka lemak dari kedua binatang tersebut, selain lemak yang melekat dipunggung keduanya atau yang diperut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.” (QS. Ql-An’am :146)

c.       Nasakh itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara’ dilarang
Pendapat ini menurut pendirian golongan Inaniyah dari kaum Yahudi dan pendirian Abu Muslim Al-Asfihani. Mereka mengakui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang dalam syara’. Abu Muslim dan orang-orang yang setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an :
žw ÏmÏ?ù'tƒ ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿwur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@ƒÍ\s? ô`ÏiB AOŠÅ3ym 7ŠÏHxq ÇÍËÈ  

Artinya :
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakang” (QS. Fushshilat: 42)
Mereka menafsirkan ayat ini dengan anggapan, bahwa hukum-hukum Al-Qur’an itu tidak batal/tidak dihapus selamanya. Padahal maksud ayat tersebut adalah bahwa hukum-hukum Al-Qur’an itu tidak ada kitab lain sebelumnya yang membatalkan atau menghapuskannya dan juga akan ada kitab setekah Al-Qur’an yang menghapuskan hukum-hukumnya[10].

F.     Hikmah Nasakh
1.      Memelihara kemaslahatan hamba.
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagi mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[11]
5.      Untuk menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang paling sempurna. Kerena itu syariat agama Islam ini menasakh semua syariat dari agama-agama sebelum Islam. Sebab, syariat Islam ini mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
6.      Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.[12]



DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. 2002. Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Basritama.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. 2004. Penerjemah: Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar.
Djalal, Abdul. 2000. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Ichwan, Mohammad Nor. 2008. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: RaSAIL Media Group.



[1] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 120.
[2] Ibid.
[3] Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2004), TTJ, 286.
[4]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya:Dunia Ilmu, 2000), 144.
[5]Ibid.
[6] Ibnul Jauzy, Nasikh Mansukh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 39.
[7] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), 120.
[8] Ibid.
[9] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Dunia Ilmu, Surabaya, 2000), 134.
[10] Ibid.
[11] Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2004), TTJ, 296.
[12] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 148.

No comments:

Post a Comment

Entri Populer