Metafisika Khusus;
Teologi (Teodisi) dan
Antropologi (Filsafat Manusia)
A.
Teologi
(Teodisi)
Teologi
metafisika sering juga dikenal dengan theologica. Theologica hanyalah merupakan
bagian dari teologi metafisik. Theologica hanya membahas tentang kepercayaan terhadap
Allah Yang Mahakuasa di tengah-tengah realitas kejahatan yang ada di dunia ini.
Teologi
metafisik mempersoalkan eksistensi Allah yang dibahas terlepas dari kepercayaan
agama. Eksisitensi Allah dibahas secara rasional, sehingga Allah menjadi objek filsafat
yang perlu dianalisis dan dipecahkan. Apabila Allah dilepaskan dari kepercayaan
agama, hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa sersuatu dari
beberapa kemungkinan berikut;
1. Allah
tidak ada.
2. Tidak
dapat dipastikan bahwa Allah itu ada atau tidak.
3. Allah
ada tanpa dibuktikan secara rasional.
4. Allah
ada, dengan bukti rasional.
Beberapa filsuf terkenal seperti
Anselmus, Descartes, Thimas Aquinas, dan Imanuel Kant telah berupaya
membuktikan bahwa Allah itu benar-benar ada. Bukti-bukti tersebut antara lain;
1. Argumen
ontologis. Semua manusia memiliki ide tentang Allah, sementara kenyataan lebih
sempurna dari pada ide. Dengan demikian Tuhan pasti ada dan realitas
keberadaanya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2. Argumen
Kosmologis. Setiap akibat pasti ada sebabnya. Dunia(kosmos) merupakan akibat,
penyebab adanya dunia adalah Tuhan.
3. Argumen
Teleologis. Segala sesuatu adalah tujuanya. Karena itu segala sesuatu memiliki
tujuan, realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang
mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
4. Argumen
Moral. Manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Itu
menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas
itu adalah Allah.
Filsafat Stoa yang paentesis mengajarkan
bahwa segala sesuatu dijadikan oleh kekuatan ilahi, yaitu kekuatan alam. Alam
semesta dikuasai oleh logos, yakni rasio Allah. Logos yang merupakan rasio
tersebut adalah tata tertib dunia. Sesungguhnya determenisme stoisisme yang
amat terkenal adalah barangkali yang paling jelas dan paling tegas dari seluruh
ajaran metafisika yang penteistik.
Filsafat paenteistik Benedictus Spinoza
(1632-1677) mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah. Ia juga
menegaskan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat berada tanpa Allah.
Skeptisisme secara umum meragukan segala
keyakinan tentang keberadaan Allah. Skeptisisme lebih mengarah pada ateisme
dalam arti ateisme teoritis, yakni suatu paham yang berupaya mempertanggung
jawabkan secara falsafati keyakinan bahwa Tuhan tidak ada.
David Hume (1711-1776) menegaskan bahwa
tidak ada bukti yang benar-benar shahih yang dapat membuktikan bahwa Allah ada
dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia ini. Ludwig Feuerbach (1804-1872) menyatakan
bahwa religi tercipta oleh hakikat manusia itu sendiri, yakni egoismenya dan
hasratnya akan kebahagiaan. Allah adalah gambaran dari keinginan manusia yang
dianggap dan diyakini sungguh-sungguh ada. Dengan teori proyeksi Feuerbach
menunjukkan bahwa Allah tidak lain daripada apa yang diinginkan manusia.
Friedrich Nietzche (1844-1900)
menyatakan bahwa konsep tentang Allah dalam agama kristen adalah konsep paling
buruk dan rusak dari seluruh konsep tentang Allah, karena dianggap sebagai
Allah dari orang-orang lemah, maka Allah juga lemah. Dari hal tersebut terdapat
kesimpulan yang menggemparkan, yakni Allah telah mati. Sigmund Freud
(1856-1939) menyatakan Allah memiliki 3 fungsi utama bagi kehidupan manusia,
yakni; Allah dianggap penguasa alam, keyakinan agamis memperdamaikan manusia
dengan nasibnya yang mengerikan, Allah memelihara dan menjaga agar
ketentuan-ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan.
B.
Antropologi
(Filsafat Manusia)
Secara harfiah berasal
dari bahasa inggris; philosophical antropology yang berarti pengetahuan
filosofis mengenai manusia.
Secara terminologi
terdapat beberapa pengertian, yakni;
1. Menunjuk
pada studi yang memperlakukan manusia sebagai suatu keseluruhan. Berusaha
menghindari atau mengatasi pendekatan yang memandang manusia tidak lebih dari
sebuah objek ilmu. Contoh; gerakan fenomenologi, eksistensialisme,
personalisme.
2. Antropologi
berusaha menjawab pertanyaan tentang apa itu manusia. Ada usaha mengadakan
sintesa antara pandangan ilmiah dan aksiologi objektif tentang manusia dan
dunia.
3. Sebuah
trend dalam filsafat barat sesudah perang dunia II di Jerman mendapat bentuk
akhir dan menentukan.
Satu
diantara persoalan antropologis yang terpenting adalah “Apakah manusia itu
sesungguhnya?”. Berikut adalah beberapa jawaban dalam pemikiran filsafat
tentang hakikat manusia;
a. Penyelesaian
realisme klasik
Pandangan realisme
klasik bersifat deskriptif. Kata kunci dari realisme klasik ini adalah materi
dan bentuk. Manusia adalah berhakikat rangkap, yaitu segi fisik dan segi yang
bersifat akali. Pandangan ini berasal dari ajaran metafisika Aristoteles
tentang hylomorfis, manusia merupakan makhluk hylomorfis yang mempunyai dua
bagian yang hakiki, yakni raga materiil yang terorganisir dan hidup rasional
yang menggerakkanya.
b. Penyelesaian
teologisme
Pandangan ini secara
umum menemukan suatu unsur transendensi yang mengacu kepada sesuatu yang lebih
besar diluar manusia, yang diyakini akan memberikan petunjuk besar mengenai
masalah terkait, tegasnya adalah hubungan antara manusia dan tuhanya yang khas.
c. Idealisme
Pertanda paling
menonjol yang membedakan manusia dari yang bukan manusia adalah kemampuan
mempergunakan simbol-simbol dan menciptakan satuan-satuan yang bersifat
fungsional dengan menggunakan simbol-simbol tersebut untuk mencapai mencapai
penyesuaian diri yang memadai. Jadi pertanda yang membedakan manusia dengan
yang lain adalah tingkah laku simbolisnya.
d. Materialisme
historis
Hakekat manusia
sesungguhnya mengalami perubahan. Manusia adalah apa yang mereka kerjakan.
Karenanya yang menentukan hakekat manusia adalah tingkah laku, dan bukan
esensi. Sudah jelas manusia tidak dapat dicampur adukkan dengan hewan yang
lebih rendah derajatnya. Karenanya apa yang mereka lakukan harus dengan satu
cara yang berbeda dengan apa yang ddilakukan hewan. Namun apabila manusia
adalah apa yangmereka kerjakan, dan apa yang mereka kerjakan itu ditentukan
oleh cara produksi, maka menguasai alat produksi berarti menguasai manusia.
Disusun Oleh;
1. Feri
Mustaufidah (210911060)
2. Terezia
Elen P. (210911061)
3. Wahyu
Choirul Huda (210911062)
Sumber; Ahmad Faruk, Filsafat
Umum(Sebuah Penelusuran Tematis), 2009, Ponorogo: STAIN Po Press.
No comments:
Post a Comment