Wednesday, May 2, 2012

download makalah tayamum(Fiqih ibadah)


TAYAMMUM
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah FIQIH
Dosen Pengampu
Isnatin Ulfah, M.H.I.
NIP. 195409031981021002


                                                 

Disusun Oleh
Wahyu Choirul Huda
NIM. 210911062

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
PENDAHULUAN
Beribadah merupakan kewajiban setiap umat manusia. Tak terkecuali umat islam, bagi mereka ibadah bukan lagi sebuah kewajiban namun merupakan kebutuhan. Dalam beribadah kita harus dalam keadaan suci, karena dalam ibadah kita berhadapan dengan Sang Pencipta. Selain itu, kesucian kita akan mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah kita. Sebelum kita mulai sholat kita harus berwudhu, jika kita sedang berjunub maka kita diharuskan mandi besar. Namun jika kita tidak mendapatkan air apa yang harus kita lakukan?
Allah tidak akan mempersulit hambanya dalam beribadah. Jika kita tidak mendapatkan air untuk bersuci kita tidak diharuskan mencarinya sampai ketemu. Kita dapat melakukan tayammum untuk menggantikan air untuk kita bersuci tersebut. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas tayammum. Walaupun di negara kita ini kita tidak mungkin akan kesulitan mendapatkan air, namun pengetahuan akan tayammum sangatlah penting. Dalam makalah ini akan dibahas hal – hal penting seperti syarat – syarat tayammum, orang yang diperbolehkan tayammum, debu yang digunakan untuk bertayammum dan sebagainya. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah pengetahuan pembaca.








PEMBAHASAN
A.     Pengertian
Menurut pengertian bahasa, tayammum berarti maksud atau tujuan. Sedang menurut pengertian syariat, tayamum berarti menuju ke pasir untuk mengusap wajah dan sepasang tangan dengan niat agar diperbolehkan melakukan shalat.[1]
Tayammum diciptakan berdasarkan Al Qur’an, sunnah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Maiidah ayat 6 yang berbunyi;

$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah: 6)

Dalam Hadist yang diriwayatkan dari Abu Umamah disebutkan bahwa Rosulullah pernah bersabda;

جعلت  الاً رض كلها لى ولأمتي مسجدا وطهور١ فأينما أدركت رجلا من أمتي الصلاةفعنده طهوره . (رواه أحمد)
Yang artinya;
“Telah dijadikan seluruh tanah di bumi ini untukku, sebagai tempat sujud dan bersuci. Karenanya, di mana saja waktu shalat itu tiba menghampiri umatku, maka tanah dapat mensucikanya.” (HR. Ahmad)
Sedangkan menurut Syarak, tayamum berarti ; Menyapu muka dan dua tangan dengan turab yang menyucikan menurut cara tertentu. Syafi’iyah dan Malikiyah menambahkan kaedah ini dengan “dengan niat”, karena niat termasuk rukunnya menurut mereka. Tapi bukanlah maksudnya melumur (ya’firu) muka dan dua tangan dengan tanah, namun hanyalah meletakkan tangan di tanah yang menyucikan atau batu atau yang serupa denganya.[2]
Pengertian tayamum dan dasar hukum berdasarkan 4 madhhab;
1.      Menurut madhhab Hanafiyah tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan tanah.
2.      Menurut madhhab Malikiyah tayamum adalah bersuci dengan debu atas wajah dan kedua tangan dengan disertai niat.
3.      Menurut madhhab Shafi’iyah tayamum adalah meratakan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai ganti dari wudhu atau mandi dengan syarat – syarat tertentu.
4.      Menurut madhhab Hanabilah tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci menurut mekanisme yang khusus.[3]

B.     Sebab – Sebab Diperbolehkan Bertayamum
Tidak dalam sembarang kondisi kita dapat melakukan tayamum, tayamum hanya boleh dilakukan jika dalam keadaan mendesak. Berikut adalah sebab – sebab diperbolehkanya kita melakukan tayamum.
1.      Diperbolehkanya tayamum adalah sebagai ganti wudhu, apabila tidak ditemukan air atau karena sakit atau karena tidak ada kemampuan bergerak serta tidak ada orang yang membawakan air untuknya. Tayamum juga diperbolehkan apabila seorang muslim terserang penyakit yang melarangnya menggunakan air atau karena ada luka yang jika terkena air akan menambah rasa sakit atau menghambat kesembuhanya.
2.      Seorang muslim yang pergi ke tempat kerja seperti bertani, berburu, mencari kayu atau pekerjaan lain dimana tidak memungkinkan baginya untuk membawa air untuk wudhu. Kemudian waktu shalat tiba dan dia tidak mendapatkan air dan tidak memungkinkan baginya untuk kembali ke rumah untuk berwudhu, kecuali dengan membatalkan keperluanya itu, maka ia boleh mengerjakan sholat dengan bertayamum karena ia dianggap sama seperti musafir yang pergi ke kampung lain.
3.      Apabila seseorang membawa sedikit air, yang jika air itu digunakan untuk berwudhu maka ia tidak akan memiliki air untuk kebutuhan minumnya dan hewan tungganganya. Dalam kondisi seperti ini ia diperbolehkan bertayamum. Menurut kesepakatan ulama tidak perlu baginya mengulang sholat. Yang demikian tersebut dikarenakan kepentingan manusia lebih didahulukan daripada shalat.
4.      Apabila seorang muslim merasa takut terhadap bahaya yang akan menimpanya, seperti jika air itu yang ada dikuasai oleh seseorang yang jahat maka dia berada pada posisi tidak mendapatkan air. Sehingga diperbolehkan baginya bertayamum. Atau apabila dia menghawatirkan hartanya jika ditinggalkan untuk mengambil air, maka ia boleh bertayamum. Apabila dia menghawatirkan hewanya akan lari atau dicuri jika ditinggalkan untuk mengambil air, maka diperbolehkan baginya bertayamum.
5.      Apabila di sekitar tempat air terdapat binatang buas, maka diperbolehkan baginya bertayamum. Atau jika ada sumur lain namun dia kesulitan dalam mengambil air, maka dia diperbolehkan membasahi kain suci lalu mengusapkanya ke bagian yang harus dibasuh dalam wudhu.
6.      Musafir yang tidak mendapatkan air.[4]
7.      Sebagian ulama ahli fiqih memperbolehkan tayamum bagi seseorang yang khawatir terlambat melakukan shalat jika ia harus wudhu atau mandi terlebih dahulu. Dalam hal ini ia boleh tayamum dan sholat tanpa harus mengulangi shalatnya. Bahkan ulama – ulama ahli fiqih dari kalangan mazhab Hanafi memperbolehkan tayamum bagi seseorang yang khawatir terlambat sholat jenazah atau sholat ‘id seandainya harus wudhu atau mandi terlebih dahulu.[5]

C.     Debu yang Dipergunakan Bertayamum
Dalam bertayamum diperbolehkan memakai debu yang suci dari segala sesuatu yang sejenis dengan tanah seperti kerikil, batu atau kapur sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 43,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qçtø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’:43)
Para ahli bahasa telah sepakat, bahwa “Ash-Sha’id” (media yang dipergunakan untuk bertayamum) memiliki arti permukaan tanah, baik berupa debu atau yang lainya.[6]

D.     Rukun dan Tata Cara Tayamum
1.      Niat
Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana niat tayamum seharusnya.
Ulama malikiyah dan Syafi’iah berpendapat hampir sama, niat tayamum yang dianggap sah adalah niat tayamum untuk diperbolehkan melaksanakan sholat atau niat melaksanakan kewajiban tayamum, sedangkan untuk menghilangkan hadats tidak sah.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa niat hanya merupakan syarat sah tayamum, bukan rukun. Menurut kelompok ini,  yang penting niat disertai tujuan tayamum.[7]
2.      Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu.
Menurut  Malikiyah dan Hanabillah orang yang akan bertayamum harus menepukkan tanganya ke tanah yang suci satu kali kemudian mengusapkanya ke tangan dan wajah, sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah harus menepukkan tangan dua kali, yang pertama untuk diusapkan ke tangan dan yang kedua ke wajah.
Batasan dalam mengusap wajah tidak diharuskan debu merata sampai kulit dasar jenggot meskipun tidak lebat. Sedangkan bagian tangan sebagian ulama berpendapat hanya mengusap sampai pergelangan tangan saja dan menganggap sampai ke siku sebagai sunnah, namun sebagian mengqiyaskan dengan wudhu yaitu membasuh sampai siku-siku.
3.      Tartib
Shafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tartib menjadi rukun tayamum untuk menghilangkan hadats kecil, sedangkan untuk menghilangkan hadats besar tidak menjadi rukun. Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa tartib hanya sunah, bukan wajib.
4.      Muwalah
Shafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa muwalah atau berurutan tidak termasuk rukun tayamum, melainkan sunah. Sedangkan Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk memasukkanya ke dalam rukun tayamum.[8]


Mengenai tatacara tayamum terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar r.a. :
أجتنبت ولم أصب الماء فتمعكت فى الصعيد وصليت، فذكرت ذلك للنبي صلعم فقل׃ انماكان يكفيك هكذا وضرب النبي صلعم بكفيه الأرض وتنفح فيهما ثم مسح بهما وجهه وكفيه
Artinya
Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimangan dengan tanah lalu sholat, kemudian aku ceritakan kepada Nabi saw, maka sabdanya: “Cukuplah bila Anda lakukan seperti ini”: Dipukulkanya kedua telapak tanganya ke tanah, lalu dihembuskanya dan kemudian disapukanya ke muka dan kedua telapak tanganya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist di atas diterangkan bahwa mengambil tanah itu cukup dengan satu kali pukulan saja, dan menyapu tangan hanya sampai pergelangan saja, serta bagi orang yang bertayamum setelah ia menepukkan telapak tanganya, hendaknya ia meniup kedua telapak tanganya agar tidak menggelimangkan tanah ke mukanya.[9]

E.       Sunah – Sunah Tayammum
1.      Membaca basmalah
Menurut Hanafiyah dalam tayamum disunahkan membaca basmalah, baik dengan maksud dzikir maupun membaca.
Menurut Syafi’iyah disunahkan membaca basmalah, tapi bila yang bertayamum sedang junub, maka dia tidak boleh memaksudkan membaca, tapi dengan sengaja berdzikir.
Menurut Hanabillah, membaca basmalah ialah wajib. Sehingga bila sengaja tidak dibaca, maka tayammum itu batal. Tapi ia gugur bila karena lupa atau jahil tentangnya.
Menurut Malikiyah membaca tayammum bukan sunah, melainkan mandub tayammum.
2.      Memukul tanah dengan kedua telapak tangan (Hanafiyah dan Malikiyah).
3.      Menghilangkan debunya (menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah).
4.      Memulai gerakan dari kanan (menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah).
5.      Hanabilah berpendapat bahwa sunah dalam tayammum hanyalah melambatkan bertayamum sampai menjelang akhir waktunya, bila dia mengira akan bertemu air untuk berwuduk dan masih dalam waktu.
6.      Tertib
Menurut malikiyah, tertib yaitu didahulukan muka dari kedua tangan, bila terbalik maka harus mengulang tayammum selama belum digunakan sebagai sholat.
F.        Makruh Dalam Tayammum
1.      Hanafiyah
Makruh mengulang – ulang menyapu.
2.      Syafi’iyah
a.       Makruh membanyakkan tanah, karena yang dimaksud dengan tayammum dalam syarak hanyalah meletakkan tanah.
b.      Mengulang – ulang menyapu anggota tayamum
c.       Membaharui tayamum walaupun sudah menggunakanya untuk shalat.
d.      Menghilangkan tanah dari kedua tangan, sesudah sempurnanya tayamum.
3.      Hanabillah
a.       Mengulang – ulang menyapu.
b.      Memasukkan taanah ke mulut dan hidung.
c.       Memukul tanah dengan lebih dari dua kali.
d.      Meniup tanah yang menempel pada anggota tayammum.
e.       Bila tiupan itu sampai menghilangkan sama sekali tanahnya dari telapak tangan, karena disapu, maka harus mengulang memukul tanahnya
4.      Malikiyah
a.       Melebihkan menyapu dari yang seharusnya, yaitu satu kali.
b.      Banyak bicara tanpa zikir kepada Allah.
c.       Memanjangkan menyapu, sehingga lebih dari kedua siku. Yaitu yang dinamakan Ghirrah dan tahjil (merajahkan tangan dan kaki dalam wuduk.[10]
G.      Hal yang Membatalkan Tayamum
1.      Yang membatalkan tayamum ialah semua yang membatalkan wudlu.
2.      Orang yang berhadas besar tidak akan kembali berhadas besar kecuali bila ditimpa yang mewajibkan mandi.
3.      Apabila mendapat air sebelum atau pada saat sebelum mengerjakan sholat, maka ia harus membatalkan sholatnya dan berwudlu lagi menggunakan air.[11]
4.      Bila seseorang dinamakan berhadas kecil yang merusak wuduk, maka bila bertayamum karena jinabah kemudian tayamumnya itu rusak, maka dia tidak harus mengulang menjadi wajib atau jinabahnya itu. Tetapi akan tetap berhadas kecil. Dengan demikian, maka dia boleh membaca Al-Quran, masuk masjid dan tetap di dalamnya.
Tapi malikiyah berpendapat bahwa bila seseorang yang bertayamum karena jinabah dan sudah itu dia berhadas kecil, maka tayamumnya jadi rusak karena berhadas kecil dan berhadas besar itu. Wuduknya jadi rusak, walaupun mandinya tidak rusak. Tapi merusakkan tayamum yang terjadi mengenai mandi. Pada waktu itu, dia haram melakukan apa yang haram atas orang junub dan dia harus mengulang tayamumnya.[12]
5.      Hanabilah menambahkan kepada yang membatalkan tayammum ialah habis waktu. Dengan habis waktu tayammum itu, maka walaupun tayammum juga tayamum itu batal secara mutlak.[13]
H.      Orang yang Tidak Mungkin Berwudhu dan Bertayammum
Bila seseorang tidak mungkin berwudhu dan tidak pula bertayamum, karena sakit atau dipenjarakan yang tidak memungkinkan bertayamum, maka dia harus mengerjakan sholat tanpa tayamum. Orang yang sholat tidak dapat berdiri, maka sambil duduk. Bila tidak dapat pula, maka salat dengan isyarat. Yang dimaksud mengerjakan sholat itu ialah untuk memperlihatkan kekhusyuklan dan kepatuhan kepada Allah AWT dalam tiap waktu dan situasi.[14]
Adapun cara orang tersebut bersuci ialah seperti khilafiyah berikut;
1.      Hanafiyah
Dia melakukan salat itu pada awal waktu dalam bentuk formal. Yaitu sujud, rukuk, menghadap kiblat, tanpa membaca atau tasbih atau tasyahud dan seumpamanya. Tapi, dia dia jangan meniatkan sholat, baik dia sedang junub atau berhadas kecil.
Salat formalitas ini tidak menggugurkan wajib sholat, sehingga tetap jadi bebannya sampai dia bertemu air untuk berwudhu atau tanah untuk tayammum. Siapa yang tidak dapat melakukan kedua cara bersuci ini, maka dia dibolehkan melakukan sholat formalitas.
2.      Syafi’iyah
Orang tersebut hanya diperbolehkan membaca surat al Fatihah saja dengan melakukan salat seperti sebenarnya dan bukan formalitas. Tapi dia wajib mengulang sholatnya waktu bertemu air. Bila orang tersebut sedang junub dan kemudian menemukan air, maka dia wajib mandi dan mengulang salatnya tadi. Bila orang berhadas kecil dan kemudian menemukan air, maka harus berwudhu dan mengulang solatnya itu.
Bila salah seorang yang berdua itu hanya menemukan tanah yang menyucikan tanah, dan seumpamanya yangboleh digunakan untuk tayamum, maka dia tidak usah mengulang tayamumnya untuk mengulang solatnya tadi. Lain halnya bila tadinya sama berat olehnya antara akan menemukan air atau tidak maka dia harus mengulangnya.
3.      Hanabilah
Orang tersebut harus melakukan sholat yang sebenarnya, sehingga dia tidak diharuskan mengulang sholatnya itu. Dia diharuskan mengasar (memendekkan) salat yang empat – empat rakaat dengan syarat – syarat yang ditentukan.
4.      Malikiyah
Dengan keadaan demikian, maka gugurlah kewajiban mengerjakan salat atasnya. Kemudian mereka beralasan pada hadis yaang berbunyi ;

لا يقبل الله صلاة بغير طهور
“Allah tidak menerima sholat, tanpa suci.”





Kesimpulan
Tayammum adalah menyapu muka dan dua tangan dengan turab yang menyucikan menurut cara tertentu disertai dengan niat. Sedangkan media yang dipergunakan untuk bertayamum adalah permukaan tanah, baik berupa debu atau yang lainya.
Rukun tayammum adalah;
1.      Niat
2.      Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu.
3.      Tartib (Syafi’iyah dan Hanafiyah)
4.      Muwalah
Sunnah dalam tayammum;
1.      Membaca basmalah
2.      Memukul tanah dengan kedua telapak tangan (Hanafiyah dan Malikiyah).
3.      Menghilangkan debunya (menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah).
4.      Memulai gerakan dari kanan (menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah).
5.      Hanabilah berpendapat bahwa sunah dalam tayammum hanyalah melambatkan bertayamum sampai menjelang akhir waktunya, bila dia mengira akan bertemu air untuk berwuduk dan masih dalam waktu.
6.      Tertib (Malikiyah)
Hal – hal yang membatalkan tayammum;
1.      Yang membatalkan tayamum ialah semua yang membatalkan wudlu.
2.      Orang yang berhadas besar tidak akan kembali berhadas besar kecuali bila ditimpa yang mewajibkan mandi.
3.      Apabila mendapat air sebelum atau pada saat sebelum mengerjakan sholat.
4.      Hanabilah menambahkan kepada yang membatalkan tayammum ialah habis waktu. Dengan habis waktu tayammum itu, maka walaupun tayammum juga tayamum itu batal secara mutlaq.


Daftar Pustaka
Ghaffar, M. Abdul. 2003. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Irsyady, Kamran As’at, Ahsan Taqwim, dkk. 2009. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah.
Masyhur, Kahar. 2004. Salat Wajib Menurut Mazhab yang Empat. Jakarta: Rineka Cipta.
Shiddiq, Abdul Rosyad. 2006. Fikih Ibadah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ulfah, Isnatin. 2009. Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN Press Ponorogo.





















[1] Abdul Rosyad Shiddiq, Fikih Ibadah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006), 80.
[2] Kahar Mansyur, Salat Wajib Menurut Mazhab yang Empat (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 117.
[3] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Press Ponorogo,2009), 37.
[4] Abdul Ghaffar, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 102.
[5] Abdul Rosyad Shiddiq, Fikih Ibadah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006), 83.
[6] Abdul Ghaffar, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 105.
[7] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Press Ponorogo,2009), 56.
[8] Ibid, 41.
[9] Ibid, 41.
[10] Kahar Mansyur, Salat Wajib Menurut Mazhab yang Empat (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),134.
[11] Abdul Ghaffar, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar),105.
[12] Kahar Mansyur, Salat Wajib Menurut Mazhab yang Empat (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),135.
[13] Ibid, 136.
[14] Ibid, 136.

No comments:

Post a Comment

Entri Populer