PENDAHULUAN
Pengetahuan
sejarah tentang hadits dari masa ke masa adalah penting dan mendasar sebelum
mempelajari lebih jauh tentang hadits. Menurut Prof. Hasbi Ash-Shidiqy dalam
buku “Sejarah Pengantar Ilmu Haadits” menyatakan bahwa perlunya mempelajari sejarah
hadits. Dengan mempelajari dan memeriksa periode – periode yang telah dilalui
hadits (sejarah perkembanganya) maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan
perkembangan hadits dari masa ke masa. Hal ini berguna bagi kita dalam proses
pemahaman hadits – hadits tersebut.
Setelah
membaca judul makalah ini mungkin dalam hati kita akan bertanya, bagaimana
proses – proses penyebaran hadits, siapa saja sahabat Rasulullah SAW yang
menerima dan menyampaikanya. Dan adakah pertentangan – pertentangan dari sahabat
menanggapi penulisan hadits. Hal
tersebut akan dibahas secara terperinci di dalam makalah ini. Kami berharap
setelah membaca makalah ini para pembaca bertambah wawasan mengenai sejarah
pertumbuhan hadits, yang berfokus pada sejarah perkembangan hadits di masa
Rasulullah SAW.
PEMBAHASAN
Rasulullah
SAW merupakan Rasul terakhir penyempurna agama, utusan dari Allah bagi seluruh
alam dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Rasulullah SAW adalah teladan yang
baik, seperti yang disebutkan firman Allah dalam surah Al-Ahzab [33] : 21 yang
berbunyi;
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya
:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”.
Rasulullah
sebagai suri tauladan yang baik telah ditegaskan oleh Allah dalam surah
Al-Ahzab ayat 22 tersebut.
Disamping
sebagai utusan Allah, Rasul adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya
dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima
perang, kepala rumah tangga, teman) maka tingkah laku, ucapan dan petunjuknya
disebut sebagai ajaran islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang
dibawanya harus disampaikan dan terwujud kongkret dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Rasul selalu memanfaatkanya
untuk berdialog dengan para sahabat melalui bernagai media, dan para sahabat
jugaa memanfaatkan hal tersebut untuk mendalami ajaran islam.[1]
A.
Media
Tersiarnya Hadits
Pertemuan
resmi seperti khutbah dan pertemuan antar kelompok merupakan media yang efektif
tersiarnya banyak hadits. Media lain yang perananya sama dengan pertemuan resmi
dalam penyiaran hadits antaralain;[2]
1. Peristiwa
yang dijumpai langsung oleh Rasul.
Misalnya
sebuah hadits dari Abu Hurairah: “Ketika Rasulullah mencurigai seorang pedagang
bahan makanan di pasar, ia bertanya,”Bagaimana cara kamu berdagang?” Setelah
dijawab Rasul menyuruh agar pedagang itu memasukkan tangannya ke dalam
daganganya, setelah dikeluarkan ternyata basah, tanda kecurangan. Nabi berkata,
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu.”[3]
2. Peristiwa
yang dijumpai sahabat kemudian dilaporkan kepada Rasul untuk dimintakan
fatwanya.
Dua sahabat Rasul sedang bepergian dan hendak
menunaikan ibadah sholat, namun tidak ada air. Maka mereka sholat dengan
tayammum. Selesai sholat mereka mendapatkan air, sementara waktu sholat belum
habis. Seseorang mengulangi sholatnya, kemudian Rasul berkata, “Engkau telah
memenuhi sunah, sholatmu ssudah cukup”. Kepada yang mengulangi sholatnya Rasul
berkata, “Engkau mendapat pahala dua kali”.[4]
B.
Hal
Yang Menyebabkan Minat Besar Dari Para Sahabat Untuk Menerima Dan Menyampaikan
Hadits.
Dalam
penyampaianya, ada beberapa factor yang menyebabkan para sahabat yakin dalam
menerima serta menyampaikan hadits, yaitu;
1. Pertama,
dinyatakan dengan tegas oleh Allah dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad adalah
panutan utama (Uswatun Hasanah) yang harus diikuti oleh mereka. QS. Al-Ahzab
21, QS. Al-Qalam 4, QS. Ali-Imron 132.
2. Kedua,
Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang
berpengetahuan. QS. Al-Alaq 1-5 dan surah Az-Zumar : 9.
3. Ketiga,
Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pelajaran kepada mereka
yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir
mendengarkan langsung dari Nabi.[5]
Perintah ini mendorong sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari
Nabi.
C.
Sahabat
yang Menerima Hadits dari Rasulullah
Terdapat
lima kelompok sahabat – sahabat yang mendapat hadits dari Rasulullah. Berikut
adalah rincian dari kelimanya beserta penyebabnya;
1. Sahabat
dalam kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun.
Yaitu
sahabat yang pertama atau yang mula – mula masuk islam.
Seperti;
abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud.
Penyebabnya,
karena mereka merupakan sahabat – sahabat yang pertama kali masuk islam.
2. Ummahat
Al-Mukminin (Istri-istri Rasulullah)
Yakni;
Siti Aisyah, Ummu Salamah.
Penyebabnya,
mereka lebih dekat dengan Nabi karena sebagai istri beliau. Hadis yang mereka
terima banyak berkaitan dengan persoalan kekeluargaan dan pergaulan suami
istri.
3. Para
sahabat yang dekat dengan Rasul SAW, mereka juga menuliskan hadits yang
diterimanya.
Seperti
Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4. Sahabat
yang banyak bertanya kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh.
Seperti
Abu Hurairah.
5. Sahabat
yang mengikuti secara sungguh-sungguh majelis Rasulullah SAW.
Seperti,
Abdullah ibn Ummar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.
D.
Motivasi
Sahabat dalam Menghafal Hadits.
Motivasi
sahabat dalam menghafal hadits yang pertama adalah karena kegiatan menghafal
merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra-islam dan mereka
terkenal kuat hafalanya. Kedua, Rasul banyak memberikan semangat melalui
doa-doanya. Dan yang ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada
mereka yang menghafal hadits dan menyampaikanya kepada orang lain.[6]
E.
Sahabat-sahabat
yang Menulis Hadits.
Sejumlah sahabat
memiliki catatan – catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits, yaitu[7];
1. Abdullah
ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatn hadits yang menurut pengakuanya dibenarkan
oleh Rasul SAW sehingga diberinya nama al-sahifah al-shadiqah. Menurut suatu riwayat
diceritakan bahwa orang quraisy mengkritik sikap Abdullah ibn Amr karena
sikapnya yang selalu menulis apa yang dating dari Rasul SAW. Mereka berkata,
“Engkau tuliskan apa saja yang dating dari Rasul, padahal rasul itu manusia yang
bias saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikan kepada Rasul
Saw dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan;
أكتب فوالذى نفسى بيده مايحرج منهإلاالحق
(رواه البخارى)
Artinya;
“Tulislah!
Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya
kecuali yang benar”. (HR. Bukhari).
Hadits-hadits
yang terhimpun dalam catatanya ini sekitar seribu hadits, yang menurut
pengakuanya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdoa tanpa ada
orang lain yang menemaninya.
2. Jabir
ibn Abdillah ibn Amar Al-Anshari. Ia memiliki catatan hadis dari Rasul tentang
manasik haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatanya ini
dikenal dengan shahifah jabir.
3. Abu
Hurairah Al-Dausi. Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan al-sahifah
al-sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
4. Abu
Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada
Rassul dicatatkan hadis yang disampaikanya ketika pidato pada peristiwa fituh
Makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabt dari
Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul kemudian bersabda;
اكتبواالا بي شاه (رواه البخارى)
Artinya:
“Kalian
tuliskan untuk Abu Syah.”
F.
Faktor
– faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks selain Al-Qur’an
Menurut
Hasby Ash-Shidiqy terdapat tiga factor yang menyebabkan larangan penulisan teks
selain Al-Qur’an, yakni yang pertama adalah mentadwinkan ucapan – ucapan Rasul,
amalan-amalanya, muamalah – muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena
memerlukan beberapa sahabat yang harus terus menerus menyertai Rasul untuk
menulis segala yang terkait dengan hal tersebut di atas, padahal orang yang
bias menulis saat itu tidak banyak.
Yang
kedua adaalah sebagaimana telah disinggung di atas, orang Arab pada saat itu
jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada
hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan
Hasbi disini, mereka orang-orang Arab itu mudah untuk menghafal Al-Qur’an yang
turun secara berangsur – angsur disbanding menghafal hadis.
Dan
yang ketiga adalah karena dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara teks
Al-Qur’an dan hadis jika dilakukan penulisan terhadap hadis.
G.
Pertentangan
hadis dikalangan ulama
Dari sekian banyak
pendapat ulama tentang pertentangan hadis, maka dapat diambil kesimpulan
terdapat empat qaul, seperti di bawah ini;
1. Menurut
ulama bahwa hadis yang berasal dari Abu Sa’id Al-Khudri bernilai mauquf,
karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini
tidak bias diterima karena hadis Abu Sa’id Al-Khudri dan hadis – hadis yang
semakna dengannya adalah shahih.[8]
2. Yang
lain menyebutkan bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada masa awal islam.
Hal ini karena adanya keterbatasan – keterbatasan. Maka pada saat umat islam
sudah semakin bertambah tenaga yang menulis hadis sudah memungkinkan, penulisan
hadis menjadi diperbolehkan. Menurut kelompok ini, hokum tentang larangan
menulis hadis berubah menjadi mubah. Mereka pada sisi lainya memandang,
kemungkinan larangan penulisan hadis dimaksud jika disatukan pada satu suhuf
dengan Al-Qur’an.
3. Ada
ulama yang berpendapat bahwa larangan tersebut adalah bagi orang yang kuat
hafalanya. Hal ini dimaksudkan untuk membiasakan diri melatih kekuatan
hafalanya dengan menghilangkan ketergantunganya terhadap penulisan. Sedang izin
penulisan diberikan kepada mereka yang lemah hafalanya, seperti Abu Syah atau
yang khawatir lupa seperti Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash.
4. Ada
juga yang menyebut bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasaranya
masyarakat banyak. Akan tetapi untuk orang – orang tertentu yang mempunyai
keahlian menulis dan membaca, yang tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan
dalam menulisnya adalah dibolehkan.[9]
H. Metode
Menghafal Hadist
Menurut Fadhilatus
Syaikh Dr. Abdulkarim al-Khudhair – Seorang Hafidhahullah, ada suatu metode yang dapat digunakan untuk
menghafal hadits. Apabila
seorang penuntut ilmu memiliki kemampuan menghafal yang kuat, maka hendaknya
dia menggunakan metode menghafal yang telah masyhur, memulai dengan menghafal
Arba’in an-Nawawiyah, kemudian dilanjutkan dengan menghafal ‘Umdatul Ahkam,
lalu menghafal Bulughul Maram atau al-Muharrar Fil Hadits [karya Ibnu Abdil
Hadii wafat tahun: 844 H], dan jika telah rampung menghafal kitab-kitab
tersebut, maka hendaknya dia memulai untuk mempelajari kitab-kitab hadits yang
bersanad [kitab yang meriwayatkan hadits-haditsnya dengan sanad], dimulai
dengan Shahih Imam Bukhari, kemudian Shahih Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
Tirmidzi, Sunan Nasa-i dan Sunan Ibnu Majah [atau yang dikenal dengan Kutubus
Sittah], baru kemudian beralih untuk mempelajari kitab-kitab yang lebih
“berat”.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta,
Munzier.Ilmu Hadis. Jakarta: PT.Raja Grafindo Pesenta. 2002, cet.ke-3.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis
dan Metodologis, penyunting Faraz Umaya, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003,
cet ke-2.
Ash-Shidiqy, Hasbi. Sejarah Perkembangan
Hadis. Yogyakarta: PT. Bulan Bintang. 1965.
Nugroho, Anjar. Makalah Studi Hadis
(dari sunah yang hidup ke bentuk verbal).
[1]
Muh. Zuhri, Hadits Nabi (Telaah Historis dan Metodologis), Yogyakarta: Tiara
Wacana, 28.
[2]
Ibid, 29.
[3]
Ibid,.
[4]
Ibid,.
[5]
Hadis Nabi yang terdapat dalam Al-Buqari, op.cit., Juz I, 23.
[6]
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 75.
[7]
Ibid, 76.
[8]
Ajjaj Al-Khathib. Al-Sunah Qabla Al-Tadwin, op cit, 306.
[9]
Ibid, 306-308.
No comments:
Post a Comment