Friday, April 26, 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA ROSULULLAH


PENDAHULUAN
Pengetahuan sejarah tentang hadits dari masa ke masa adalah penting dan mendasar sebelum mempelajari lebih jauh tentang hadits. Menurut Prof. Hasbi Ash-Shidiqy dalam buku “Sejarah Pengantar Ilmu Haadits” menyatakan bahwa perlunya mempelajari sejarah hadits. Dengan mempelajari dan memeriksa periode – periode yang telah dilalui hadits (sejarah perkembanganya) maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa. Hal ini berguna bagi kita dalam proses pemahaman hadits – hadits tersebut.
Setelah membaca judul makalah ini mungkin dalam hati kita akan bertanya, bagaimana proses – proses penyebaran hadits, siapa saja sahabat Rasulullah SAW yang menerima dan menyampaikanya. Dan adakah pertentangan – pertentangan dari sahabat menanggapi penulisan hadits.  Hal tersebut akan dibahas secara terperinci di dalam makalah ini. Kami berharap setelah membaca makalah ini para pembaca bertambah wawasan mengenai sejarah pertumbuhan hadits, yang berfokus pada sejarah perkembangan hadits di masa Rasulullah SAW.











PEMBAHASAN
Rasulullah SAW merupakan Rasul terakhir penyempurna agama, utusan dari Allah bagi seluruh alam dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Rasulullah SAW adalah teladan yang baik, seperti yang disebutkan firman Allah dalam surah Al-Ahzab [33] : 21 yang berbunyi;
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik telah ditegaskan oleh Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 22 tersebut.
Disamping sebagai utusan Allah, Rasul adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman) maka tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Rasul selalu memanfaatkanya untuk berdialog dengan para sahabat melalui bernagai media, dan para sahabat jugaa memanfaatkan hal tersebut untuk mendalami ajaran islam.[1]
A.    Media Tersiarnya Hadits
Pertemuan resmi seperti khutbah dan pertemuan antar kelompok merupakan media yang efektif tersiarnya banyak hadits. Media lain yang perananya sama dengan pertemuan resmi dalam penyiaran hadits antaralain;[2]
1.      Peristiwa yang dijumpai langsung oleh Rasul.
Misalnya sebuah hadits dari Abu Hurairah: “Ketika Rasulullah mencurigai seorang pedagang bahan makanan di pasar, ia bertanya,”Bagaimana cara kamu berdagang?” Setelah dijawab Rasul menyuruh agar pedagang itu memasukkan tangannya ke dalam daganganya, setelah dikeluarkan ternyata basah, tanda kecurangan. Nabi berkata, “Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu.”[3]
2.      Peristiwa yang dijumpai sahabat kemudian dilaporkan kepada Rasul untuk dimintakan fatwanya.
Dua sahabat Rasul sedang bepergian dan hendak menunaikan ibadah sholat, namun tidak ada air. Maka mereka sholat dengan tayammum. Selesai sholat mereka mendapatkan air, sementara waktu sholat belum habis. Seseorang mengulangi sholatnya, kemudian Rasul berkata, “Engkau telah memenuhi sunah, sholatmu ssudah cukup”. Kepada yang mengulangi sholatnya Rasul berkata, “Engkau mendapat pahala dua kali”.[4]

B.     Hal Yang Menyebabkan Minat Besar Dari Para Sahabat Untuk Menerima Dan Menyampaikan Hadits.
Dalam penyampaianya, ada beberapa factor yang menyebabkan para sahabat yakin dalam menerima serta menyampaikan hadits, yaitu;
1.      Pertama, dinyatakan dengan tegas oleh Allah dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (Uswatun Hasanah) yang harus diikuti oleh mereka. QS. Al-Ahzab 21, QS. Al-Qalam 4, QS. Ali-Imron 132.
2.      Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. QS. Al-Alaq 1-5 dan surah Az-Zumar : 9.
3.      Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pelajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir mendengarkan langsung dari Nabi.[5] Perintah ini mendorong sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.


C.    Sahabat yang Menerima Hadits dari Rasulullah
Terdapat lima kelompok sahabat – sahabat yang mendapat hadits dari Rasulullah. Berikut adalah rincian dari kelimanya beserta penyebabnya;

1.      Sahabat dalam kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun.
Yaitu sahabat yang pertama atau yang mula – mula masuk islam.
Seperti; abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud.
Penyebabnya, karena mereka merupakan sahabat – sahabat yang pertama kali masuk islam.
2.      Ummahat Al-Mukminin (Istri-istri Rasulullah)
Yakni; Siti Aisyah, Ummu Salamah.
Penyebabnya, mereka lebih dekat dengan Nabi karena sebagai istri beliau. Hadis yang mereka terima banyak berkaitan dengan persoalan kekeluargaan dan pergaulan suami istri.
3.      Para sahabat yang dekat dengan Rasul SAW, mereka juga menuliskan hadits yang diterimanya.
Seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4.      Sahabat yang banyak bertanya kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh.
Seperti Abu Hurairah.
5.      Sahabat yang mengikuti secara sungguh-sungguh majelis Rasulullah SAW.
Seperti, Abdullah ibn Ummar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.

D.    Motivasi Sahabat dalam Menghafal Hadits.
Motivasi sahabat dalam menghafal hadits yang pertama adalah karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra-islam dan mereka terkenal kuat hafalanya. Kedua, Rasul banyak memberikan semangat melalui doa-doanya. Dan yang ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikanya kepada orang lain.[6]


E.     Sahabat-sahabat yang Menulis Hadits.
Sejumlah sahabat memiliki catatan – catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits, yaitu[7];
1.      Abdullah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatn hadits yang menurut pengakuanya dibenarkan oleh Rasul SAW sehingga diberinya nama al-sahifah  al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang quraisy mengkritik sikap Abdullah ibn Amr karena sikapnya yang selalu menulis apa yang dating dari Rasul SAW. Mereka berkata, “Engkau tuliskan apa saja yang dating dari Rasul, padahal rasul itu manusia yang bias saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikan kepada Rasul Saw dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan;

أكتب فوالذى نفسى بيده مايحرج منهإلاالحق (رواه البخارى)
Artinya;
“Tulislah! Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari).
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatanya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuanya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdoa tanpa ada orang lain yang menemaninya.
2.      Jabir ibn Abdillah ibn Amar Al-Anshari. Ia memiliki catatan hadis dari Rasul tentang manasik haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatanya ini dikenal dengan shahifah jabir.
3.      Abu Hurairah Al-Dausi. Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan al-sahifah al-sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
4.      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rassul dicatatkan hadis yang disampaikanya ketika pidato pada peristiwa fituh Makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabt dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul kemudian bersabda;

اكتبواالا بي شاه (رواه البخارى)
Artinya:
“Kalian tuliskan untuk Abu Syah.”

F.     Faktor – faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks selain Al-Qur’an
Menurut Hasby Ash-Shidiqy terdapat tiga factor yang menyebabkan larangan penulisan teks selain Al-Qur’an, yakni yang pertama adalah mentadwinkan ucapan – ucapan Rasul, amalan-amalanya, muamalah – muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang harus terus menerus menyertai Rasul untuk menulis segala yang terkait dengan hal tersebut di atas, padahal orang yang bias menulis saat itu tidak banyak.
Yang kedua adaalah sebagaimana telah disinggung di atas, orang Arab pada saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi disini, mereka orang-orang Arab itu mudah untuk menghafal Al-Qur’an yang turun secara berangsur – angsur disbanding menghafal hadis. 
Dan yang ketiga adalah karena dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara teks Al-Qur’an dan hadis jika dilakukan penulisan terhadap hadis.

G.    Pertentangan hadis dikalangan ulama
Dari sekian banyak pendapat ulama tentang pertentangan hadis, maka dapat diambil kesimpulan terdapat empat qaul, seperti di bawah ini;
1.      Menurut ulama bahwa hadis yang berasal dari Abu Sa’id Al-Khudri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bias diterima karena hadis Abu Sa’id Al-Khudri dan hadis – hadis yang semakna dengannya adalah shahih.[8]
2.      Yang lain menyebutkan bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada masa awal islam. Hal ini karena adanya keterbatasan – keterbatasan. Maka pada saat umat islam sudah semakin bertambah tenaga yang menulis hadis sudah memungkinkan, penulisan hadis menjadi diperbolehkan. Menurut kelompok ini, hokum tentang larangan menulis hadis berubah menjadi mubah. Mereka pada sisi lainya memandang, kemungkinan larangan penulisan hadis dimaksud jika disatukan pada satu suhuf dengan Al-Qur’an.
3.      Ada ulama yang berpendapat bahwa larangan tersebut adalah bagi orang yang kuat hafalanya. Hal ini dimaksudkan untuk membiasakan diri melatih kekuatan hafalanya dengan menghilangkan ketergantunganya terhadap penulisan. Sedang izin penulisan diberikan kepada mereka yang lemah hafalanya, seperti Abu Syah atau yang khawatir lupa seperti Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash.
4.      Ada juga yang menyebut bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasaranya masyarakat banyak. Akan tetapi untuk orang – orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya adalah dibolehkan.[9]

H.      Metode Menghafal Hadist
Menurut Fadhilatus Syaikh Dr. Abdulkarim al-Khudhair – Seorang Hafidhahullah, ada suatu metode yang dapat digunakan untuk menghafal hadits. Apabila seorang penuntut ilmu memiliki kemampuan menghafal yang kuat, maka hendaknya dia menggunakan metode menghafal yang telah masyhur, memulai dengan menghafal Arba’in an-Nawawiyah, kemudian dilanjutkan dengan menghafal ‘Umdatul Ahkam, lalu menghafal Bulughul Maram atau al-Muharrar Fil Hadits [karya Ibnu Abdil Hadii wafat tahun: 844 H], dan jika telah rampung menghafal kitab-kitab tersebut, maka hendaknya dia memulai untuk mempelajari kitab-kitab hadits yang bersanad [kitab yang meriwayatkan hadits-haditsnya dengan sanad], dimulai dengan Shahih Imam Bukhari, kemudian Shahih Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa-i dan Sunan Ibnu Majah [atau yang dikenal dengan Kutubus Sittah], baru kemudian beralih untuk mempelajari kitab-kitab yang lebih “berat”.




DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier.Ilmu Hadis. Jakarta: PT.Raja Grafindo Pesenta. 2002, cet.ke-3.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, penyunting Faraz Umaya, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003, cet ke-2.
Ash-Shidiqy, Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Yogyakarta: PT. Bulan Bintang. 1965.
Nugroho, Anjar. Makalah Studi Hadis (dari sunah yang hidup ke bentuk verbal).


[1] Muh. Zuhri, Hadits Nabi (Telaah Historis dan Metodologis), Yogyakarta: Tiara Wacana, 28.
[2] Ibid, 29.
[3] Ibid,.
[4] Ibid,.
[5] Hadis Nabi yang terdapat dalam Al-Buqari, op.cit., Juz I, 23.
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 75.
[7] Ibid, 76.
[8] Ajjaj Al-Khathib. Al-Sunah Qabla Al-Tadwin, op cit, 306.
[9] Ibid, 306-308.

No comments:

Post a Comment

Entri Populer